IQ , EQ, and AQ
Jika bisnis kita ingin tetap eksis, maka tak ada salahnya kalau kita menjadi pengusaha "Climber"
Sungguh saya sempat tertegun, ketika membaca pidato pengukuhan Prof Dr. dr. Hari K. Lasmono, MS, Guru Besar Ilmu psikologi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya beberapa waktu lalu. Ia mengungkapkan, bahwa untuk kita bisa sukses dalam bisnis maupun karir, tak cukup hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Tapi juga AQ (Adversity Quotient).
Mengapa AQ penting? Menurut pakar SDM, Paul G. Stoltz, phD, AQ merupakan perpaduan antara IQ dan EQ. Jadi AQ bisa saja kita artikan sebagai kehandalan mental. Sementara, Daniel Goleman pernah mengatakan, banyak pengusaha ber-IQ tinggi, namun usahanya cepat jatuh. Sedang, yang ber-IQ biasa-biasa saja justru berkembang. Lantas, ia mengenalkan kecerdasan Emosi (EQ). Dimana EQ merefleksikan kemampuan kita berempati pada orang lain, mengontrol kemauan hati, dan kesadaran diri. Sehingga Goleman yakin EQ lebih penting dari IQ.
Tapi kenyataannya, seperti IQ, tak semua orang mengambil keuntungan dari EQ. Karena, kurangnya ukuran valid dan metode definitif untuk mempelajarinya, membuat EQ sukar dipahami. Bahkan, beberapa orang ber-IQ tinggi dan punya semua aspek EQ, ternyata akan jatuh pula. Itu sebabnya mengapa Stoltz, berani mengatakan, bahwa IQ dan EQ tidak menentukan kesuksesan seseorang, meskipun keduanya memainkan peranannya. Lantas, mengapa pengusaha bisa bertahan, meski di saat krisis ekonomi sekalipun, sedang pengusaha lain yang rata-rata pintar menyerah akibat badai krisis? AQ itulah kuncinya.
Untuk memahami AQ, kita menggambarkannya dengan pendaki gunung. Ada 3 kategori, yang pertama adalah "Climber". Tipe orang ini, akan terus mendaki sampai puncak tanpa mempertimbangkan lebih jauh keuntungan atau kerugian, ketidakberuntungan atau keberuntungan. Tipe pengusaha "Climber" ini, juga cenderung tak pernah mempermasalahkan usia, gender, ras, ketidakmampuan fisik atau mental, atau berbagai rintangan lain untuk mencapai puncak kesuksesannya.
Tipe yang kedua adalah pengusaha "Camper". Dia mengkompromikan hidupnya. Dia bekerja keras tapi hanya sebatas yang mampu dia lakukan. Sebenarnya kesuksesan bisa diraih lebih baik lagi, tapi dia cenderung untuk tidak mau mencapainya. Dia sudah cukup puas dengan apa yang sudah diraihnYa.
Terakhir tipe ketiga, pengusaha "Quitter" juga mengkompromikan hidupnya, namun tidak berusaha sekeras "Camper". Dia lebih memilih bisnis yang mudah, tanpa gejolak. Tapi, jika dalam bisnis menghadapi kesukaran, ia cenderung lebih mudah terkena depresi, atau frustasi. Pendeknya, disadari atau tidak, pengusaha "Quitter" lebih memilih melarikan diri dari pendakiannya. Padahal, sebetulnya dia punya potensi untuk mencapai sukses.
Dengan melihat 3 tipe pengusaha di atas, saya berpendapat bahwa jika kita ingin eksis sebagai pengusaha, maka sebaiknya kita harus berusaha menjadi pengusaha "Climber", dan bukan "Camper" maupun "Quitter" . Sebab, hanya tipe "Climber" yang benar-benar bisa mengisi hidupnya. sebab, mereka mempunyai perasaan yang kuat mencapai tujuan dan semangat untuk melakukannya. Baginya, tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Dia punya kebijaksanaan dan kedewasaan untuk memahami kapan harus maju dan kapan harus mundur.
Namun demikian, "Climber" itu juga manusia. Kadang mereka punya keraguan, kesepian dan pertanyaan dalam perjuangannya. Karena itu, tak mengherankan terkadang pengusaha tipe "Climber" bergabung juga dengan "camper" untuk merenung kembali, mengisi ulang energi untuk berjuang lagi. sedangkan pengusaha tipe "Quitter" memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Nah, bagaimana Anda sendiri, mau pilih tipe yang mana.
Info from www.purdiecandra.com
1 komentar:
Forex Trading System
Treadmill Running Machine
Membership Site
Latest Technology News
Computer Games Hardware
Marine Electronic
Bisnis Internet
Post a Comment